Kamis, 28 Oktober 2010

Tak Ada Pilihan Lain, Semarang Harus Cerdas

Sebelumnya, mari sedikit saya ajak berpetualang mengenal Kota Semarang. Tata kota, penambangan liar, sarana dan kualitas pendidikan, pelayanan umum, serta transportasi merupakan sekelumit problematika di kota ini. Jika kita tarik garis merah, sebuah jawaban akan muncul, kekuasaan dan uang.
Komodifikasi yang tengah meracuni dunia akhirnya sampai juga di tanah pandanaran. Seperti yang digambarkan Vincent Mosco dalam bukunya,Economy Politic Media, komodifikasi merupakan cara kapitalisme membawa akumulasi tujuan kapitalnya. Mengkonfersi nilai guna menjadi nilai tukar yang menghasilkan laba.
Longgarnya aturan Pemerintah Daerah (Pemda) dimanfaatkan kapitalis untuk “menggarap” Kota Semarang. Tak tanggung-tanggung, bukit-bukit daerah serapan air dikepras menjadi perumahan, pusat pemerintahan dan pendidikan disulap menjadi pusat perbelanjaan. Akibatnya jelas, semakin berkurangnya debit persediaan air kota dan banjir di sejumlah wilayah.
Namun bagaimana jadinya bila pendidikan menjadi korban komodifikasi? Tingginya angka putus sekolah, menjamurnya anak jalanan, dan meningkatnya kriminalitas menjadi konsekuensinya. Pendidikan yang menjadi hak setiap warga Negara menjadi hal yang amat mahal.
Berdasarkan persentase, angka partisipasi kasar (APK) untuk SMA/SMK/MA di Kota Semarang sebesar 89,7 persen (http://lccuniverse.com/2010/01/04/pemerintah-belum-serius-tangani-anak-putus-sekolah/). Sebuah presantase yang kecil mengingat Semarang memiliki anggaran pendidikan terbesar di Jawa Tengah.
Mungkin Pemda berkelit dengan alasan disediakannya beasiswa untuk mereka yang cerdas dan miskin. Namun bagaimana dengan mereka yang kurang cerdas dan miskin. Pertanyaan besarnya adalah apakah mereka yang berada pada posisi tersebut (kurang cerdas dan miskin) tidak berhak mendapat pendidikan?
Inilah yang masih luput dari perhatian Pemda. Banyak sekali anak-anak yang memiliki motivasi belajar tinggi, namun terkendala dengan biaya dan tingkat kecerdasan. Ketidak perhatian ini sama saja membentuk mereka menjadi generasi kriminal. Disatu sisi kebutuhan terus bertambah, disisi lain mereka tidak memiliki kekayaan dan pendidikan. Sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Selama ini semua pihak hanya berkonsentrasi pada mereka yang memiliki kelebihan material, intelegensi atau keduanya. Mereka yang tidak memiliki modal tersebut didiskriditkan dan dicap sebagai “produk gagal”. Tak ada pilihan lain bagi mereka untuk tetap hidup selain menjual tenaga dengan upah yang amat minim.
Tak dapat dipungkiri, globalisasi amat dekat dengan kapitalisasi, dan arus globalisasi terlalu kuat untuk dihindari. Globalisasi tak selamanya berkonotasi negative, sebab globalisasi adalah kemajuan teknologi dan peningkatan kesejahteraan. Namun siapkah cah Semarang menerima globalisasi? Atau justru terjebak perangkap kapitalisasi?
Siap tidaknya warga Semarang akan serangan lintah-lintah kapitalis hanya dapat dijawab dengan pendidikan. Namun jika uang tak punya, pendidikan pun miskin, apa kata dunia?
Belum selesai sampai disitu, bobroknya iklim demokrasi Semarang merupakan akibat rendahnya kualitas pendidikan. Negara mana yang menjadikan popularitas sebagai parameter pemilihan kepala daerah, kecuali Indonesia, Semarang pada khususnya. Calon-calon yang memiliki modal besar dan sering muncul di media menjadi pilihan utama, dengan mengesampingkan kualitas personal. Lalu apa penyebabnya? Buta teknologi dan minimnya pendidikan lagi-lagi memainkan andilnya. Akhirnya, pemerintahan yang tidak becus hanya akan meraangsang praktik korupsi.
Jelas sekali bahwa prioritas pembangunan Kota Semarang adalah bidang pendidikan. Kota ini harus menjadi Semarang yang cerdas, yang setiap warganya memiliki bargaining position yang tinggi. Kemiskinan dan kriminalitas adalah buah dari kebodohan, maka kebodohan adalah musuh yang harus dihancurkan. Pendidikan adalah sebuah inestasi besar untuk masa depan dan setiap orang berhak untuk investasi tersebut.
Agaknya Pemda harus memikirkan hal ini. Bukan saya menyarankan agar pendidikan gratis untuk semua pihak, namun perlu kebijakan yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Mereka yang memiliki kelebihan materi, “harus” membayar biaya pendidikan dan biaya itulah yang nantinya dialokasikan untuk pendidikan masyarakat yang kurang mampu.
Nasib Semarang sepuluh hingga lima puluh tahun lagi ada di pundak putera daerah. Mungkinkah Semarang menjadi hutan beton dan sarang banjir atau tetap lestari dengan nilai khas Semarangan, mari kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar