Kamis, 28 Oktober 2010

Budaya (Indonesia) yang tak lagi Cipta, Rasa dan Karsa


Budaya menghasilkan kebudayaan, begitu terang Djoko Widaghdo (1994). Jika budaya
merupakan hasil daya manusia yang mengasilkan budi dalam konteks cipta, rasa dan karsa, maka
kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa itu sendiri. Lebih jelas lagi, Djojodiguno, dalam
bukunya Azas-azas Sosiologi menerangkan tafsir cipta, rasa dan karsa.
Cipta merujuk pada kemampuan atau dapat diartikan sebagai kerinduan manusia untuk
mengetahui segala sesuatu. Hasrat untuk mengetahui rahasia alam semesta. Kemudian
menghasilkan nilai yang disebut sebagai pengetahuan. Cipta merangsang manusia menemukan
hal baru bagi kehidupannya.
Rasa merupakan sense manusia akan estetika (keindahan). Rasa mendorong manusia untuk
meramu kehidupannya dengan keindahan bentuk dan rupa. Menghasilkan nilai yang disebut seni.
Karsa memberikan pemahaman akan “sangkan paran”. Memahami darimana manusia lahir
(sangkan), dan kemana manusia akan mati (paran). Karsa menghasilkan nilai norma dan agama
(kepercayaan).
Berdasarkan ketiga nlai tersebut, kebudayaan merupakan sebuah hasil dari kemuliaan
manusia. Dari satu individu, berkembang ke lingkungan tempat tinggal, hingga konteks bangsa
dan negara. Kebudayaan bangsa muncul dari olah budaya masyarakat suatu negara. Membentuk
system sosial yang diamini seluruh anggotanya.
Santun, ramah, damai, niali budaya yang (dahulu) menjadi “cap” bangsa Indonesia. Betapa
tidak fantastis, ratusan budaya dari berbagai suku bangsa dilebur dan dapat diterima dengan nama
Budaya Indonesia. Seluruh dunia percaya dan mengakui luhurnya Budaya Indonesia.
Seiring lamanya negara ini berdiri, lahir berbagai budaya baru. Namun ironis, budaya
tersebut bukan lagi hasil kemuliaan manusia Indonesia. Korupsi yang sejak jaman penjajahan
menjadi penyakit bangsa, kini naik statusnya menjadi budaya korupsi. Tak selesai disitu,
berkembang pula teman-teman barunya, budaya suap, budaya makelar kasus, dan budaya anarki.
Meminjam data Political & Economic Risk Consultancy (PERC) – Hongkong dan
Transfarency Internasional – Jerman, Maret 2010 Indonesia menempati posisi puncak negara
terkorup di Asia Pasifik. Fakta menyedihkan yang menunjukkan betapa korupsi menjadi
kebudayaan negara ini. Budaya Indonesia mulai menanggalkan karsanya. Lupa akan muara kehidupannya. Nilai
luhur ramah, santun dan teposliro terkubur ditengah pamor Budaya Korupsi dan teman-
temannya. Mulai dari satu individu, lembaga dan akhirnya membudaya.
Banyak penafsiran akan munculnya penyakit budaya di negeri ini. Salah satunya merujuk
pada masa kolonial Belanda. Beberapa sumber menyebutkan korupsi merupakan peninggalan
pemerintahan Belanda saat menjajah Indonesia. Faktanya, VOC, persekutuan dagang besar milik
Belanda kala itu pun bubar karena korupsi. Pasca kemerdekaan, Belanda mewariskan system
pemerintahan berikut penyakitnya.
Pendapat lain menyebutkan korupsi adalah efek samping perkembangan budaya negeri.
Ramah, bertele-tele, malu-malu, gak enakan beberapa budaya Jawa yang kemudian menjadi ikon
Budaya Indonesia. Saking ramahnya, budaya “memberi” disalahartikan dan menjadi embrio
korupsi. Sifat gak enakan menjadi biang kolusi, makelar kasus, suap dan “penitipan”.
Pemerintah boleh beralasan besarnya jumlah penduduk, luasnya wilayah, kompleksnya
system pemerintahan menjadi kendala penanganan penyakit budaya ini. Namun coba kita lihat
negara lain, dengan wilayah yang lebih luas, dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar. Cina,
menyandang nama negara yang sukses memerangi korupsi. Tak main-main, Presiden Cina
memberlakukan hukuman tembak mati bagi koruptor.
Dalam akulturasi kemajuan teknologi, perekonomian dan budya, negeri ini perlu belajar
dari Jepang. Tidak ada yang meragukan kebudayaan Jepang. Setiap Bangsa Jepang bangga dan
selalu memamerkan kebudayaannya, dimanapu mereka berada. Beberapa fakta menunjukkan
eksistensi Budaya Jepang di dunia internasional. Banyak universitas ternama di seluruh dunia
membuka program studi dan unit kegiatan budaya jepang. Dalam hal gaya hidup, style Harajuku
ala Jepang sempat menjadi kiblat mode dunia. Tanpa meninggalkan karsa, Jepang
mengembangkan budayanya.
Betapa bangganya bila Budaya Indonesia menjadi kiblat dunia. Setiap orang mengenakan,
bernyanyi, bericara ala Indonesia. Pertanyaannya bukan siapkah, namun maukah bangsa ini
mencapai tahap tersebut? Bukan tidak, sebenarnya bangsa ini juga tengah berjuang memberantas penyakit budaya.
Namun lagi-lagi sikap mental menjadi kendala. Sikap mental yang lahir karena budaya Indonesia
yang Saya tuturkan sebelumnya.
Salah satu langkah efektif adalah penerapan mental anti-korupsi sejak dini. Saya sangat
apresiatif pada penerapan kantin kejujuran di sekolah-sekolah. Pembelajaran mengenai dasar
budaya (cipta-rasa-karsa) perlu ditanamkan kuat-kuat, bukan hasilnya. Siswa tidak hanya
diajarkan bersikap ramah dan saling memberi, namun lebih pada mengapa kita harus bersikap
seperti itu.
Jika memang baik, bolehlah kita meminjam system negara lain dalam memerangi korupsi.
Taruhlah misalnya hukuman tembak mati bagi koruptor. Jika sikap gak enakan khas Jawa masih
menjadi kendala, barangkali pemindahan pusat pemerintahan ke Sumatra menjadi alternative
terakhir.
Format ini menitik beratkan pada memperkuat pondasi dan “melenyapkan” sumber.
Memperkuat pondasi simaksudkan menggembleng mental generasi penerus bangsa sejak dini.
Barangkali istilah pelenyapan cukup sarkasme, namun inilah faktanya. Hukuman setegas-
tegasnya (mati) layak untuk aktor penyakit budaya agar tidak menular pada generasi berikutnya.
Bukan sekadar definisi, namun kebudayaan sebagai paket cipta-rasa-karsa merupakan
kompleksitas yang tak dapat dipisahkan. Negara yang sukses dengan teknologi dan budayanya,
tak meninggalkan satupun dari kesatuan tersebut. Norma moral dan agama perlu ditekankan
dalam pengenbangan budaya bangsa.
Budaya pertama yang menjadi dasar Indonesia pun menyebutkan hal yang sama. Pancasila,
sila pertama secara tegas menyebutkan tentang Ketuhanan. Menjadi bukti bahwa (sebenarnya)
Indonesia adalah negara yang religius yang menjadikan norma agama menjadi landasan awal.
Bukankah semua agama melarang korupsi, kolusi, suap, makelar kasus, dan kekerasan?

2 komentar:

  1. Tulisan-tulisan (di blog ini)dari sebuah renungan yang mendalam, pemikiran kritis yang menggelitik siapa saja yang membacanya untuk mau merenung sejenak merupakan gaya menulismu,Pak PU! Tetap kritis, tetap semangat! menulis ... :)

    BalasHapus
  2. saya setuju dengan tulisan anda
    dan saya baru menyadari bahwa memang semua harus dibenahi mulai dari aka-akarnya
    mulai sekarang

    BalasHapus