Senin, 27 Juni 2011

Pengotakan Pribadi dalam Hegemoni Profesi


Manusia merupakan makhluk yang sangat unik. Istilah mendasar yang menggambarkan betapa manusia merupakan kompleksitas biologis, psikologis, dan kultural. Tidak ada satu pun manusia yang sama. Ia adalah dirinya dan satu-satunya (Prof. Achmad Mubarok, MA, Guru Besar Psikologi Islam UI). Dua manusia yang dilahirkan dalam satu rahim pun tidak akan sama. Banyak hal mempengaruhi perbedaan tersebut, termasuk stimulus eksternal (lingkungan) serta karakter pribadi.
Institusi profesi menjadi salah satu pembentuk pribadi seseorang. Ketika ia masuk kedalamnya (institusi), ia akan terbawa hegemoni lingkungannya. Ia menjadi pribadi yang (seolah-olah) menghambakan hidup pada intitusi. Hal ini karena institusi memiliki aturan formal yang mengharuskan setiap anggotanya melebur atas nama pengabdian. Pola ini berguna untuk mencegah “pembangkangan” dan membentuk loyalitas serta solidaritas kelompok. Pola hierarki yang jelas, aturan kaku dan atribut menjadi symbol diri dan identitasnya. Polisi harus disiplin dan berwibawa, rohaniaawan harus taat dan sesuai “jalur”, pengajar harus rapi, dilarang nyleneh.
Namun dengan segala pengotakan tersebut, toh manusia tidak dapat di bentuk di bawah hegemoni institusi profesi. Fakta ini nampak pada diri Briptu Norman Kamaru, anggota Brimob Polda Gorontalo. Dengan berseragam lengkap, ia bernyanyi lipsync dan menari sebuah lagu India. Sebuah lagu berjudul Chaiyya-chaiyya ia peragakan sesuai penyanyi aslinya, Shahrukh Khan di film Dil Se. Norman luwes serta tidak tampak canggung bernyanyi didepan kamera. Ia sama sekali tidak tampak seperti polisi yang menyandang titel garang, disiplin berwibawa, dengan tarian khas militer, patah-patah.
Tak Sama maka Salah
Dalam struktur sosio-kultural masyarakat pada umumnya, ketidaksamaan karakter diasosiasikan sebagai kesalahan dan pembangkangan. Seperti halnya yang di lakukan Briptu Norman, secara latah sebagian besar masyarakat terlebih penganut kultur konvensional menyatakan tindakan tersebut salah. “Tidak seharusnya seorang polisi melakukan hal tersebut, itu merupakan tindakan bodoh, ia sungguh memalukan institusi kepolisian.”
Dengan tingkah polah selayaknya penyanyi India selagi mengenakan seragam lengkap polisi, Norman mendapat sorotan tajam masyarakat Indonesia. Video yang telah di unggah di Youtube tersebut di saksikan lebih dari 500 ribu pengunjung, lebih banyak dari video penyanyi aslinya. Bukan hanya masyarakat, institusi kepolisian yang diwakili Kapolda dan Kapolri pun memberikan respon. Sempat diisukan bahwa Norman akan mendapat sanksi atas dakwaan melakukan tindakan tidak terpuji saat berdinas.
Aksi Norman pun mendapat respon dari berbagai media massa nasional. Dalam hal ini media berperan besar dalam membentuk wacana bahwa perbedaan merupakan bagian dari struktur dan itu merupakan hal yang lumrah. Berbagai wacana logis ditampilkan, media mencoba menggugah paradigma umum bahwa institusi tidak dapat dilekatkan erat pada individu. Bersama kelompok masyarakat penganut pemikiran kritis, media perlahan menggeser justifikasi negatif atas tindakan Norman. Bahkan sebagian besar masyarakat kini mulai mengapresiasi dan memberikan dukungan kepadanya. Pun dari institusinya. Entah “tekanan” media atau munculnya kesadaran, pejabat kepolisian pun memberikan hadiah khusus pada Norman.
Dramaturgi pada Institusi
Kacamata Dramaturgi Erving Goffman menguraikan bahwa secara sosiologis, identitas manusia bersifat dinamis. Identitas didasarkan pada kondisi psikologis setiap seorang yang berbeda. Identitas akan terbentuk akibat interaksi pada kelompok dan individivu pada lingkungan tertentu. Interaksi ini memunculkan peran-peran yang harus diterima dan dijalankan sesuai “skenario”. Pada lingkungan institusi kepolisian yang menjunjung tinggi kedisiplinan, anggota merupakan bagian dari struktur besar dan harus tunduk pada “pemeran” posisi tinggi. Pola interaksi dilakukan dengan kaku, dengan garis komando yang tegas.
Institusi memaksa anggotanya berperan dalam corak yang homogen. Meskipun pada masa awal memasuki institusi individu memiliki kekuatan untuk memilih, namun dalam prosesnya, ia akan berperan natural dan mengikuti naskah cerita. Kondisi inilah seseorang disebut sebagai pemeran yang bersikap objektif (menerima).
Kembali pada masalah kondisi psikologis, ternyata berbagai bentuk pengotakan pribadi dalam institusi belum tentu membuahkan hasil. Perbedaan kondisi psikologis menjadi takaran pembeda. Pada kasus Briptu Norman misalnya, dengan atribut dan skenario kepolisiannya, ia mampu menjadi Norman sang seniman. Peran yang berbanding terbalik dengan perannya dalam institusi profesinya. Terjadi pemaknaan ganda antara “garang” dan “kocak”.
Kondisi ini merupakan hal yang lumrah. Tidak perlu adanya justifikasi negatif pada pelaku hanya karena perannya sebagai aktor papan bawah. Seperti halnya jika seorang presiden bernyanyi dan seorang menteri membuat status dengan bahasa alay pada jejaring sosial. Bukankah itu hal yang wajar?