Senin, 16 Januari 2012

Menakar kesetaran gender di alam demokrasi

Kenapa kaumku yang selalu menjadi korban, apakah ini yang namanya emansipasi wanita, atau malah emansipasi pria? gumam sang dokter spesialis kandungan, Kartini yang trenyuh mendapati beberapa orang pasiennya menjadi korban ketidakberdayaan perempuan atas laki-laki. Mereka adalah Rara pelajar kelas dua SMP yang hamil, Yanti pekerja seks komersial pengidap kanker rahim, Ratna perempuan yang tengah hamil sementara sang suami telah menikah lagi dan Lili korban kekerasan dalam rumah tangga yang akhirnya meninggal di tangan suaminya.
 Ya, itu hanyalah potongan cerita dalam film yang mengusung fenomena diskrimanasi gender bertajuk 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita, yang dirilis pada 2010. Barangkali agak berlebihan, tetapi rangkaian cerita yang diangkat dalam film garapan Robby Ertanto tersebut menggambarkan realita ekstrim ketimpangan gender yang terjadi di negara yang mengaku demokratis dan menjunjung emansipasi wanita ini. Tentang bagaimana perempuan menjadi komoditas ekonomis pria, bagaimana perempuan begitu lemah atasnama kesetiaan dan kesalihan serta bagaimana perempuan harus bertanggungjawab atas kehendak pria. Kalaupun tak sedramatis itu, nyatanya perempuan indonesia dihadapkan pada ancaman kekerasan atas fisik dan mental mereka.
Berdasar data World Health Organization (WHO) Gender Development Index Indonesia pada 2006 berada pada angka 0.704,menduduki rangking 81 dari 177 negara di dunia. Sementara komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat pada 2006 sebanyak 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia, 74% diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus).
Catatan merah keadilan gender Indonesia juga diwarnai dengan penganiayaan dan pemerasan terhadap pahlawan devisa, dan ironisnya praktik ini justru dilakukan oknum bangsa sendiri.
Masih lekat di telinga kita bagaimana seorang perempuan menjadi korban kekerasan seksual di angkutan umum dan sayangnya kasus tersebut bukan yang pertama. Sebelumnya kasus serupa terjadi, justru pada moda transportasi alternatif yang diklaim aman dan nyaman, Transjakarta. Fasilitas umum, khususnya transportasi yang seharusnya dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh masyarakat tanpa membedakan gender justru mejadi semacam alat yang dimanfaatkan oknum laki-laki untuk menunjukan superioritas atau bisa disebut penindasan.
Menengok kebelakang, sejarah berdirinya negeri ini pun tak jauh dari diskriminasi gender yang menjadikan perempuan sebagai objek penindasan. Sejak jaman kolonial Belanda kemudian lebih parah lagi pada masa penjajahan Jepang, perempuan pribumi hanya menjadi objek kepuasan seks kemudian harus menyandang status jugun ianfu.
Pentingnya Pendidikan Gender
Setelah 66 tahun merdeka dan 13 tahun mengumandangkan semangat reformasi ternyata  perempuan Indonesia masih belum ”merdeka”. Berbagai upaya pemerintah untuk meniadakan ketimpangan gender  seperti  pengesahan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT nyatanya belum terlaksana secara maksimal.  Hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia minim mendapatkan edukasi mengenai kesetaraan gender.
Pendidikan gender sebagaimana pengetahuan tentang seks masih menjadi hal yang tabu bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini amat menghambat upaya pendidikan keadilan gender sejak dini, mengingat begitu pentingnya pemahaman kesetaraan gender. Kesadaran akan keadilan gender akan menjadi semacam kontrol sosial yang sangat efektif. Kontrol ini tertananam pada diri, bukan sekadar mekanisme punishment institusional.
Perlu pemahaman bahwa keanggunan dan kelembutan perempuan bukanlah sekadar objek dan kekerasan terhadapnya dapat menimbulkan luka fisik dan trauma psikologis. Women’s Crisis Centre (WCC) mencatat pada 2007 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang diampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri dan 13,12% menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Fakta-fakta ini yang harus dimengerti oleh setiap orang, terutama laki-laki.
Upaya ini telah dilakukan oleh beberapa LSM dan pemerhati perempuan, tetapi nampaknya belum mendapat perhatian besar dari pemerintah. Melihat pentingnya pendidikan gender, rasanya tak berlebihan jika disisipkan dalam kurikulum pendidikan menengah dan tinggi mengingat kasus kekerasan pada perempuan rawan terjadi pada usia tersebut. Pendidikan gender tidak harus berupa materi kelas, pemutaran film, diskusi interaktif serta kuis dapat menjadi alternatif metoda pendidikan gender. Salam keadilan gender.

Senin, 27 Juni 2011

Pengotakan Pribadi dalam Hegemoni Profesi


Manusia merupakan makhluk yang sangat unik. Istilah mendasar yang menggambarkan betapa manusia merupakan kompleksitas biologis, psikologis, dan kultural. Tidak ada satu pun manusia yang sama. Ia adalah dirinya dan satu-satunya (Prof. Achmad Mubarok, MA, Guru Besar Psikologi Islam UI). Dua manusia yang dilahirkan dalam satu rahim pun tidak akan sama. Banyak hal mempengaruhi perbedaan tersebut, termasuk stimulus eksternal (lingkungan) serta karakter pribadi.
Institusi profesi menjadi salah satu pembentuk pribadi seseorang. Ketika ia masuk kedalamnya (institusi), ia akan terbawa hegemoni lingkungannya. Ia menjadi pribadi yang (seolah-olah) menghambakan hidup pada intitusi. Hal ini karena institusi memiliki aturan formal yang mengharuskan setiap anggotanya melebur atas nama pengabdian. Pola ini berguna untuk mencegah “pembangkangan” dan membentuk loyalitas serta solidaritas kelompok. Pola hierarki yang jelas, aturan kaku dan atribut menjadi symbol diri dan identitasnya. Polisi harus disiplin dan berwibawa, rohaniaawan harus taat dan sesuai “jalur”, pengajar harus rapi, dilarang nyleneh.
Namun dengan segala pengotakan tersebut, toh manusia tidak dapat di bentuk di bawah hegemoni institusi profesi. Fakta ini nampak pada diri Briptu Norman Kamaru, anggota Brimob Polda Gorontalo. Dengan berseragam lengkap, ia bernyanyi lipsync dan menari sebuah lagu India. Sebuah lagu berjudul Chaiyya-chaiyya ia peragakan sesuai penyanyi aslinya, Shahrukh Khan di film Dil Se. Norman luwes serta tidak tampak canggung bernyanyi didepan kamera. Ia sama sekali tidak tampak seperti polisi yang menyandang titel garang, disiplin berwibawa, dengan tarian khas militer, patah-patah.
Tak Sama maka Salah
Dalam struktur sosio-kultural masyarakat pada umumnya, ketidaksamaan karakter diasosiasikan sebagai kesalahan dan pembangkangan. Seperti halnya yang di lakukan Briptu Norman, secara latah sebagian besar masyarakat terlebih penganut kultur konvensional menyatakan tindakan tersebut salah. “Tidak seharusnya seorang polisi melakukan hal tersebut, itu merupakan tindakan bodoh, ia sungguh memalukan institusi kepolisian.”
Dengan tingkah polah selayaknya penyanyi India selagi mengenakan seragam lengkap polisi, Norman mendapat sorotan tajam masyarakat Indonesia. Video yang telah di unggah di Youtube tersebut di saksikan lebih dari 500 ribu pengunjung, lebih banyak dari video penyanyi aslinya. Bukan hanya masyarakat, institusi kepolisian yang diwakili Kapolda dan Kapolri pun memberikan respon. Sempat diisukan bahwa Norman akan mendapat sanksi atas dakwaan melakukan tindakan tidak terpuji saat berdinas.
Aksi Norman pun mendapat respon dari berbagai media massa nasional. Dalam hal ini media berperan besar dalam membentuk wacana bahwa perbedaan merupakan bagian dari struktur dan itu merupakan hal yang lumrah. Berbagai wacana logis ditampilkan, media mencoba menggugah paradigma umum bahwa institusi tidak dapat dilekatkan erat pada individu. Bersama kelompok masyarakat penganut pemikiran kritis, media perlahan menggeser justifikasi negatif atas tindakan Norman. Bahkan sebagian besar masyarakat kini mulai mengapresiasi dan memberikan dukungan kepadanya. Pun dari institusinya. Entah “tekanan” media atau munculnya kesadaran, pejabat kepolisian pun memberikan hadiah khusus pada Norman.
Dramaturgi pada Institusi
Kacamata Dramaturgi Erving Goffman menguraikan bahwa secara sosiologis, identitas manusia bersifat dinamis. Identitas didasarkan pada kondisi psikologis setiap seorang yang berbeda. Identitas akan terbentuk akibat interaksi pada kelompok dan individivu pada lingkungan tertentu. Interaksi ini memunculkan peran-peran yang harus diterima dan dijalankan sesuai “skenario”. Pada lingkungan institusi kepolisian yang menjunjung tinggi kedisiplinan, anggota merupakan bagian dari struktur besar dan harus tunduk pada “pemeran” posisi tinggi. Pola interaksi dilakukan dengan kaku, dengan garis komando yang tegas.
Institusi memaksa anggotanya berperan dalam corak yang homogen. Meskipun pada masa awal memasuki institusi individu memiliki kekuatan untuk memilih, namun dalam prosesnya, ia akan berperan natural dan mengikuti naskah cerita. Kondisi inilah seseorang disebut sebagai pemeran yang bersikap objektif (menerima).
Kembali pada masalah kondisi psikologis, ternyata berbagai bentuk pengotakan pribadi dalam institusi belum tentu membuahkan hasil. Perbedaan kondisi psikologis menjadi takaran pembeda. Pada kasus Briptu Norman misalnya, dengan atribut dan skenario kepolisiannya, ia mampu menjadi Norman sang seniman. Peran yang berbanding terbalik dengan perannya dalam institusi profesinya. Terjadi pemaknaan ganda antara “garang” dan “kocak”.
Kondisi ini merupakan hal yang lumrah. Tidak perlu adanya justifikasi negatif pada pelaku hanya karena perannya sebagai aktor papan bawah. Seperti halnya jika seorang presiden bernyanyi dan seorang menteri membuat status dengan bahasa alay pada jejaring sosial. Bukankah itu hal yang wajar?

Kamis, 28 Oktober 2010

Budaya (Indonesia) yang tak lagi Cipta, Rasa dan Karsa


Budaya menghasilkan kebudayaan, begitu terang Djoko Widaghdo (1994). Jika budaya
merupakan hasil daya manusia yang mengasilkan budi dalam konteks cipta, rasa dan karsa, maka
kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa itu sendiri. Lebih jelas lagi, Djojodiguno, dalam
bukunya Azas-azas Sosiologi menerangkan tafsir cipta, rasa dan karsa.
Cipta merujuk pada kemampuan atau dapat diartikan sebagai kerinduan manusia untuk
mengetahui segala sesuatu. Hasrat untuk mengetahui rahasia alam semesta. Kemudian
menghasilkan nilai yang disebut sebagai pengetahuan. Cipta merangsang manusia menemukan
hal baru bagi kehidupannya.
Rasa merupakan sense manusia akan estetika (keindahan). Rasa mendorong manusia untuk
meramu kehidupannya dengan keindahan bentuk dan rupa. Menghasilkan nilai yang disebut seni.
Karsa memberikan pemahaman akan “sangkan paran”. Memahami darimana manusia lahir
(sangkan), dan kemana manusia akan mati (paran). Karsa menghasilkan nilai norma dan agama
(kepercayaan).
Berdasarkan ketiga nlai tersebut, kebudayaan merupakan sebuah hasil dari kemuliaan
manusia. Dari satu individu, berkembang ke lingkungan tempat tinggal, hingga konteks bangsa
dan negara. Kebudayaan bangsa muncul dari olah budaya masyarakat suatu negara. Membentuk
system sosial yang diamini seluruh anggotanya.
Santun, ramah, damai, niali budaya yang (dahulu) menjadi “cap” bangsa Indonesia. Betapa
tidak fantastis, ratusan budaya dari berbagai suku bangsa dilebur dan dapat diterima dengan nama
Budaya Indonesia. Seluruh dunia percaya dan mengakui luhurnya Budaya Indonesia.
Seiring lamanya negara ini berdiri, lahir berbagai budaya baru. Namun ironis, budaya
tersebut bukan lagi hasil kemuliaan manusia Indonesia. Korupsi yang sejak jaman penjajahan
menjadi penyakit bangsa, kini naik statusnya menjadi budaya korupsi. Tak selesai disitu,
berkembang pula teman-teman barunya, budaya suap, budaya makelar kasus, dan budaya anarki.
Meminjam data Political & Economic Risk Consultancy (PERC) – Hongkong dan
Transfarency Internasional – Jerman, Maret 2010 Indonesia menempati posisi puncak negara
terkorup di Asia Pasifik. Fakta menyedihkan yang menunjukkan betapa korupsi menjadi
kebudayaan negara ini. Budaya Indonesia mulai menanggalkan karsanya. Lupa akan muara kehidupannya. Nilai
luhur ramah, santun dan teposliro terkubur ditengah pamor Budaya Korupsi dan teman-
temannya. Mulai dari satu individu, lembaga dan akhirnya membudaya.
Banyak penafsiran akan munculnya penyakit budaya di negeri ini. Salah satunya merujuk
pada masa kolonial Belanda. Beberapa sumber menyebutkan korupsi merupakan peninggalan
pemerintahan Belanda saat menjajah Indonesia. Faktanya, VOC, persekutuan dagang besar milik
Belanda kala itu pun bubar karena korupsi. Pasca kemerdekaan, Belanda mewariskan system
pemerintahan berikut penyakitnya.
Pendapat lain menyebutkan korupsi adalah efek samping perkembangan budaya negeri.
Ramah, bertele-tele, malu-malu, gak enakan beberapa budaya Jawa yang kemudian menjadi ikon
Budaya Indonesia. Saking ramahnya, budaya “memberi” disalahartikan dan menjadi embrio
korupsi. Sifat gak enakan menjadi biang kolusi, makelar kasus, suap dan “penitipan”.
Pemerintah boleh beralasan besarnya jumlah penduduk, luasnya wilayah, kompleksnya
system pemerintahan menjadi kendala penanganan penyakit budaya ini. Namun coba kita lihat
negara lain, dengan wilayah yang lebih luas, dan jumlah penduduk yang jauh lebih besar. Cina,
menyandang nama negara yang sukses memerangi korupsi. Tak main-main, Presiden Cina
memberlakukan hukuman tembak mati bagi koruptor.
Dalam akulturasi kemajuan teknologi, perekonomian dan budya, negeri ini perlu belajar
dari Jepang. Tidak ada yang meragukan kebudayaan Jepang. Setiap Bangsa Jepang bangga dan
selalu memamerkan kebudayaannya, dimanapu mereka berada. Beberapa fakta menunjukkan
eksistensi Budaya Jepang di dunia internasional. Banyak universitas ternama di seluruh dunia
membuka program studi dan unit kegiatan budaya jepang. Dalam hal gaya hidup, style Harajuku
ala Jepang sempat menjadi kiblat mode dunia. Tanpa meninggalkan karsa, Jepang
mengembangkan budayanya.
Betapa bangganya bila Budaya Indonesia menjadi kiblat dunia. Setiap orang mengenakan,
bernyanyi, bericara ala Indonesia. Pertanyaannya bukan siapkah, namun maukah bangsa ini
mencapai tahap tersebut? Bukan tidak, sebenarnya bangsa ini juga tengah berjuang memberantas penyakit budaya.
Namun lagi-lagi sikap mental menjadi kendala. Sikap mental yang lahir karena budaya Indonesia
yang Saya tuturkan sebelumnya.
Salah satu langkah efektif adalah penerapan mental anti-korupsi sejak dini. Saya sangat
apresiatif pada penerapan kantin kejujuran di sekolah-sekolah. Pembelajaran mengenai dasar
budaya (cipta-rasa-karsa) perlu ditanamkan kuat-kuat, bukan hasilnya. Siswa tidak hanya
diajarkan bersikap ramah dan saling memberi, namun lebih pada mengapa kita harus bersikap
seperti itu.
Jika memang baik, bolehlah kita meminjam system negara lain dalam memerangi korupsi.
Taruhlah misalnya hukuman tembak mati bagi koruptor. Jika sikap gak enakan khas Jawa masih
menjadi kendala, barangkali pemindahan pusat pemerintahan ke Sumatra menjadi alternative
terakhir.
Format ini menitik beratkan pada memperkuat pondasi dan “melenyapkan” sumber.
Memperkuat pondasi simaksudkan menggembleng mental generasi penerus bangsa sejak dini.
Barangkali istilah pelenyapan cukup sarkasme, namun inilah faktanya. Hukuman setegas-
tegasnya (mati) layak untuk aktor penyakit budaya agar tidak menular pada generasi berikutnya.
Bukan sekadar definisi, namun kebudayaan sebagai paket cipta-rasa-karsa merupakan
kompleksitas yang tak dapat dipisahkan. Negara yang sukses dengan teknologi dan budayanya,
tak meninggalkan satupun dari kesatuan tersebut. Norma moral dan agama perlu ditekankan
dalam pengenbangan budaya bangsa.
Budaya pertama yang menjadi dasar Indonesia pun menyebutkan hal yang sama. Pancasila,
sila pertama secara tegas menyebutkan tentang Ketuhanan. Menjadi bukti bahwa (sebenarnya)
Indonesia adalah negara yang religius yang menjadikan norma agama menjadi landasan awal.
Bukankah semua agama melarang korupsi, kolusi, suap, makelar kasus, dan kekerasan?

Kemana Muara Pendidikan Indonesia?


“Menjadi cerdas itu mudah, tapi mencerdaskan orang lain itu bukan perkara sepele.” Ungkapan inilah yang barangkali layak kita telaah, berkaitan dengan dunia pendidikan di negeri ini. Masih hangat kita perbincangkan mengenai turunnya tingkat kelulusan siswa SMA / SMK (sederajat). Lalu siapa yang patut kita peraslahkan?
Dalam hal ini, guru menjadi sosok yang memegang peranan penting. Sebagai front officer yang berinteraksi langsung dengan siswa, guru memiliki peran paling strategis dalam proses pendidikan. Betapa tidak, hampir seperempat hari waktu siswa dihabiskan untuk belajar di sekolah dibawah “kendali” guru. Berbagai kebiasaan, sikap, watak, dan perilaku tumbuh disekolah, mulai disiplin, kerjasama, empati, hingga kerjakeras. Penanaman nilai-nilai tersebut begitu intens dan berkesinambungan, hingga melekat erat pada pribadi siswa.
Entah karena lebih berkonsentrasi pada proses “pencekokan” nilai atau alasan lain, ternyata kita luput dalam memperhatikan kualitas “cekokan” tersebut. Ada nilai lain yang tanpa sengaja melekat dan berdampak amat buruk pada diri siswa. Nilai tersebut adalah plagiarisme dan orietasi pada angka nilai.
Sejak duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), siswa dilatih untuk “memindah” jawaban dari lembar materi ke lembar soal. Betapa banyak buku-buku latihan siswa yang didisain untuk melancarkan praktik plagiarisme tersebut. “Ayo anak-anak, kerjakan soal-soal itu dengan benar. Baca dulu materi di halaman sebelumnya. Baca dengan teliti, karena semua jawaban ada disitu.” Dengan tidak langsung, guru “memaksa” siswa untuk mengcopy jawaban untuk kemudian disalin kembali, sama persis dengan kalimat di halaman materi.
Terjadi pergeseran tujuan pembelajaran, yang awalnya pemberian pengetahuan dan ajang pelatihan kemandirian berpikir, menjadi pelatihan “peniruan”. Tampak jelas bahwa siswa dituntut untuk hanya aware pada angka nilai. Jalan pintas plagiarisme dihalalkan asal siswa dapat menyelesaikan soal, sama persis dengan materi.
Pelan namun pasti, terbentuk sikap mental yang berorientasi pada nilai, dengan mengesampingkan tujuan pendidikan pada khitahnya. Tak jarang siswa melakukan tindakan yang lebih “berani” demi mendapatkan nilai maksimal.
Sadar atau tidak, sekolah berkotribusi dalam membentuk lingkungan yang mendukung, yaitu adanya apresiasi untuk siswa-siswi yang berprestasi. Namun jangan salah, prestasi yang dimaksud adalah siswa yang mendapatkan nilai tertinggi. Bukan untuk siswa-siswi yang paling jujur dan bekerja keras dalan mngembangkan kemandirian berpikir. Belum selesai sampai disitu, sekolah juga memberikan peringatan sekaligus ancaman untuk siswa-siswi dengan nilai yang rendah, bukan mereka yang berbuat “curang” untuk mendapatkan nilai terbaik.
Ironisnya, nilai-isme ini berkembang pula di lingkungan lain, lingkungan keluarga. Orangtua meyakini bahwa putra-putrinya dikatakan cerdas saat mereka mendapatkan nilai yang tinggi. Pertanyaan yang terlontar dari orangtua lebih sering “Bagaimana nilai ujianmu, rangking berapa?” bukan “Tadi disekolah mendapat materi apa?, ujian dengan jujur kan?”
Tekanan demi tekanan itu semakin mengukuhkan watak siswa. Nilai, ya itulah tujuan belajar mereka saat ini. Hingga puncaknya, ketika seorang siswi SMK di Muaro Jambi nekat mengakhiri hidupnya hanya karena dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun ini. Sebelum melakukan aksi bunuh diri, ia meninggalkan pesan agar temannya mengatakan pada orangtuanya bahwa ia tidak lulus UN, karena ia tidak berani mengatakan sendiri. Padahal tidak lebih dari satu bulan lagi, akan diadakan ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus atau belum mengikuti UN.
Fakta tersebut menyatakan, betapa penting nilai bagi siswa, betapa nilai menjadi prioritas utama pendidikan mereka, lebih dari tujuan murninya, media untuk mengembangkan kemandirian berpikir, dan berjiwa besar. Saking kuatnya nilai-isme mengakar,hingga kegagalannya harus ditebus dengan nyawa.
Berangkat dari fenomena tersebut, perlu adanya koreksi besar atas kualitas system pendidikan negeri ini, terlebih tenaga pengajar yang berinteraksi langsung dengan siswa. Harus ada perombakan orientasi pendidikan, sekaligus penghapusan watak plagiarisme, serta penanaman kesadaran akan manfaat pendidikan, bukan manfat nilai.
Merujuk pada penyataan di awal, “Menjadi cerdas itu mudah, tapi mencerdaskan orang lain itu bukan perkara sepele,” maka tenaga pengajar haruslah orang yang memiliki kecerdasan emosional dan intelektual yang seimbang. Kualitas tenaga pengajar berkaitan kuat terhadap kualitas siswa. Semoga pelajar Indonesia mampu memimpin dunia.

Tak Ada Pilihan Lain, Semarang Harus Cerdas

Sebelumnya, mari sedikit saya ajak berpetualang mengenal Kota Semarang. Tata kota, penambangan liar, sarana dan kualitas pendidikan, pelayanan umum, serta transportasi merupakan sekelumit problematika di kota ini. Jika kita tarik garis merah, sebuah jawaban akan muncul, kekuasaan dan uang.
Komodifikasi yang tengah meracuni dunia akhirnya sampai juga di tanah pandanaran. Seperti yang digambarkan Vincent Mosco dalam bukunya,Economy Politic Media, komodifikasi merupakan cara kapitalisme membawa akumulasi tujuan kapitalnya. Mengkonfersi nilai guna menjadi nilai tukar yang menghasilkan laba.
Longgarnya aturan Pemerintah Daerah (Pemda) dimanfaatkan kapitalis untuk “menggarap” Kota Semarang. Tak tanggung-tanggung, bukit-bukit daerah serapan air dikepras menjadi perumahan, pusat pemerintahan dan pendidikan disulap menjadi pusat perbelanjaan. Akibatnya jelas, semakin berkurangnya debit persediaan air kota dan banjir di sejumlah wilayah.
Namun bagaimana jadinya bila pendidikan menjadi korban komodifikasi? Tingginya angka putus sekolah, menjamurnya anak jalanan, dan meningkatnya kriminalitas menjadi konsekuensinya. Pendidikan yang menjadi hak setiap warga Negara menjadi hal yang amat mahal.
Berdasarkan persentase, angka partisipasi kasar (APK) untuk SMA/SMK/MA di Kota Semarang sebesar 89,7 persen (http://lccuniverse.com/2010/01/04/pemerintah-belum-serius-tangani-anak-putus-sekolah/). Sebuah presantase yang kecil mengingat Semarang memiliki anggaran pendidikan terbesar di Jawa Tengah.
Mungkin Pemda berkelit dengan alasan disediakannya beasiswa untuk mereka yang cerdas dan miskin. Namun bagaimana dengan mereka yang kurang cerdas dan miskin. Pertanyaan besarnya adalah apakah mereka yang berada pada posisi tersebut (kurang cerdas dan miskin) tidak berhak mendapat pendidikan?
Inilah yang masih luput dari perhatian Pemda. Banyak sekali anak-anak yang memiliki motivasi belajar tinggi, namun terkendala dengan biaya dan tingkat kecerdasan. Ketidak perhatian ini sama saja membentuk mereka menjadi generasi kriminal. Disatu sisi kebutuhan terus bertambah, disisi lain mereka tidak memiliki kekayaan dan pendidikan. Sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Selama ini semua pihak hanya berkonsentrasi pada mereka yang memiliki kelebihan material, intelegensi atau keduanya. Mereka yang tidak memiliki modal tersebut didiskriditkan dan dicap sebagai “produk gagal”. Tak ada pilihan lain bagi mereka untuk tetap hidup selain menjual tenaga dengan upah yang amat minim.
Tak dapat dipungkiri, globalisasi amat dekat dengan kapitalisasi, dan arus globalisasi terlalu kuat untuk dihindari. Globalisasi tak selamanya berkonotasi negative, sebab globalisasi adalah kemajuan teknologi dan peningkatan kesejahteraan. Namun siapkah cah Semarang menerima globalisasi? Atau justru terjebak perangkap kapitalisasi?
Siap tidaknya warga Semarang akan serangan lintah-lintah kapitalis hanya dapat dijawab dengan pendidikan. Namun jika uang tak punya, pendidikan pun miskin, apa kata dunia?
Belum selesai sampai disitu, bobroknya iklim demokrasi Semarang merupakan akibat rendahnya kualitas pendidikan. Negara mana yang menjadikan popularitas sebagai parameter pemilihan kepala daerah, kecuali Indonesia, Semarang pada khususnya. Calon-calon yang memiliki modal besar dan sering muncul di media menjadi pilihan utama, dengan mengesampingkan kualitas personal. Lalu apa penyebabnya? Buta teknologi dan minimnya pendidikan lagi-lagi memainkan andilnya. Akhirnya, pemerintahan yang tidak becus hanya akan meraangsang praktik korupsi.
Jelas sekali bahwa prioritas pembangunan Kota Semarang adalah bidang pendidikan. Kota ini harus menjadi Semarang yang cerdas, yang setiap warganya memiliki bargaining position yang tinggi. Kemiskinan dan kriminalitas adalah buah dari kebodohan, maka kebodohan adalah musuh yang harus dihancurkan. Pendidikan adalah sebuah inestasi besar untuk masa depan dan setiap orang berhak untuk investasi tersebut.
Agaknya Pemda harus memikirkan hal ini. Bukan saya menyarankan agar pendidikan gratis untuk semua pihak, namun perlu kebijakan yang menyentuh semua lapisan masyarakat. Mereka yang memiliki kelebihan materi, “harus” membayar biaya pendidikan dan biaya itulah yang nantinya dialokasikan untuk pendidikan masyarakat yang kurang mampu.
Nasib Semarang sepuluh hingga lima puluh tahun lagi ada di pundak putera daerah. Mungkinkah Semarang menjadi hutan beton dan sarang banjir atau tetap lestari dengan nilai khas Semarangan, mari kita tunggu saja.

Hukum Progresif Pendidikan

Hukum progresif yang diperkenalkan (Alm.) Prof Satjipto Rahardjo, guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ternyata memiliki kajian yang amat luas. Lalu bagaimana bila hukum progresif diterapkan pada dunia pendidikan? Sejauh mana manfaatnya?
hukum progresif mengkaji kesalahan bukan hanya dari “apa” kesalahan itu, tapi lebih pada “mengapa” kesalahan itu dilakukan. Dalam hal ini, asas praduga tak bersalah memiliki peranan penting. Tersangka melakukan pledoi yang mungkin dapat meringankan hukuman atau bahkan membebaskannya dari jerat hukum.Pola semacam ini dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan.
Selama ini kelulusan siswa terutama SMA-sederajat dan SMP-sederajat menitikberatkan parameter kelulusan berdasarkan hasil nilai Ujian Nasional (UN). Parameter lain adalah nilai sikap siswa selama disekolah. Sekolah dapat menidakluluskan siswa apabila nilai sikapnya dibawah rata-rata, atau dengan kata lain siswa berperilaku buruk. Sekalipun sang siswa mendapat hasil UN yang memuaskan.
Aturan ini pada dasarnya baik, karena siswa tidak hanya dituntut cerdas secara akademis, namun juga harus cerdas secara emosional. Tujuan pendidikan adalah melatih kemandirian berpikir dan positive thinking. Tanpa emotional control, nasib bangsa ini kedepan tak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini, sarang koruptor. Korupsi menjadi musuh utama Indonesia saat ini, dari sinilah kita harus mulai mencegahnya.
Namun tak cukup sampai disitu, kebijakan nilai sikap sebagai pertimbangan kelulusan harus dilengkapi dengan penerapan hokum progresif. Sekolah harus mengkaji lebih dari sekadar “apa” kesalahan yang dilakukan, tapi harus sampai “mengapa” kesalahan itu dilakukan. Sangat mungkin siswa melakukan kesalahan (prbuatan buruk) bukan atas kemauannya. Dengan demikian setiap siswa mendapatkan haknya untuk lulus, sekalipun melakukan kesalahan.
Taruhlah misalnya kasus yang terjadi di Jogjakarta, ketika siswa tidak diluluskan karena nilai sikapnya buruk. Sekolah tidak dapat serta merta tidak meluluskan siswa yang bersangkutan. Siswa berhak untuk menjawab dan melakukan pledoi atas kesalahannya. Setelah adanya proses pemahaman, barulah sekolahdiperbolehkan menetapkan sikap. Tidak menutup kemungkinan siswa dikeluarkan jika pledoinya ditolak karena alasan yang tidak rasional. Dengan demikian, hukuman siswa dapat sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan, sekaligus menjaga hak-haknya.
Perlu diketahui siswa usia SMA/SMP-sederajat secara psikologis tengah berada pada fase “gejolak”. Belum memiliki kematangan emosional, sehingga tidak dapat disamaratakan dengan hokum pidana.bagaimanapun, siswa berada rel pencarian jatidiri, sehingga kesalahan sangat mungkin terjadi.
Hukum progresif mengajarkan untuk memberikan hukuman yang mendidik, dengan mempertimbangkan berbagai aspek (manfaat dan kerugian). Pun dalam kajian pendidikan, sekolah perlu mempertimbangkan beberapa aspek, seperti kondisi orangtua siswa (ekonomi), dan kondisi psikologis siswa. Masih hangat ditelinga kita seorang siswi di Jambi nekat bunuh diri karena tidak lulus UN. Sungguh tidak layak ketika angka nilai UN harus dipertukarkan dengan nyawa.
Akhirnya, kebijaksanaan menjadi senjata kunci dalam proses pendidikan. Hukuman layak untuk sebuah kesalahan, asal tidak menyandera hak siswa.

Kamis, 10 Desember 2009

Batik Semarangan: Perjalanan Menggali Jati Diri

Kebanyakan orang lebih sering mendengar Pekalongan sebagai kota penghasil batik. Tapi sebenarnya, batik merupakan hasil kesenian beberapa daerah di Nusantara. Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Madura, Lasem, Cirebon, bahkan Papua adalah daerah-daerah yang mempunyai kekhasan motif batik.
Salah satu daerah yang mempunyai keunikan desain batik adalah Semarang. Gambar-gambar pada kain batiknya cenderung bermotif tumbuhan. Motif seperti ini oleh masyarakat Semarang sering disebut motif semen yang awalnya berasal dari kata “semi” yang berarti tumbuh.
Keunikan gambar Batik Semarang disebabkan adanya sentuhan beberapa kebudayaan yang berbeda-beda. Setidaknya ada tiga kebudayaan yang mempengaruhinya, yakni Jawa, Belanda, dan Tionghoa.
Beberapa desain batik Semarangan adalah kepala pasung, kepala tumpal, pucuk rebung atau sorotan. Aksen-aksen tersebut terasa amat kental dengan budaya Belanda (Batik Kolonial). Dominasi warna coklat dan hitamnya memberikan kesan agung. Motif-motif yang seperti ini malah diketahui dari hasil repro Los Angeles Country of Art yang pernah dibuat pada 1910.
Meskipun dikenal sebagai Batik Kolonial, awalnya Batik Semarangan justru mendapat pengaruh dari China. “Hal ini dikarenakan pada masa itu industri batik didominasi keturunan Tionghoa,” ungkap Irma HS, salah seorang penggiat Batik Semarangan. Batiknya mempunyai ciri berwarna merah, berhiaskan bunga-bunga teratai atau burung merak. Burung merak sebagai pengganti burung hong atau phoenix yang menjadi simbol keberutungan dan keabadian bagi masyarakat China. Tapi kemudian tak seorang pun tahu kenapa gaya batik seperi ini tiba-tiba menghilang.
Baru kemudian sekitar awal abad 19, seperti disebutkan Rens Heringa dan Harman C. Veldhuisen dalam bukunya Fabric of enhancement: Batik From The North Coast of Java, dua perempuan Belanda mengembangkan batik tulis di Semarang. Mereka adalah Nyonya Van Oosterom dan Carolina JosephinaVon Franquemont. Dari nama Franquemont itulah barangkali sebutan batik prankemon untuk Batik Semarangan waktu itu menjadi populer.