Kamis, 28 Oktober 2010

Kemana Muara Pendidikan Indonesia?


“Menjadi cerdas itu mudah, tapi mencerdaskan orang lain itu bukan perkara sepele.” Ungkapan inilah yang barangkali layak kita telaah, berkaitan dengan dunia pendidikan di negeri ini. Masih hangat kita perbincangkan mengenai turunnya tingkat kelulusan siswa SMA / SMK (sederajat). Lalu siapa yang patut kita peraslahkan?
Dalam hal ini, guru menjadi sosok yang memegang peranan penting. Sebagai front officer yang berinteraksi langsung dengan siswa, guru memiliki peran paling strategis dalam proses pendidikan. Betapa tidak, hampir seperempat hari waktu siswa dihabiskan untuk belajar di sekolah dibawah “kendali” guru. Berbagai kebiasaan, sikap, watak, dan perilaku tumbuh disekolah, mulai disiplin, kerjasama, empati, hingga kerjakeras. Penanaman nilai-nilai tersebut begitu intens dan berkesinambungan, hingga melekat erat pada pribadi siswa.
Entah karena lebih berkonsentrasi pada proses “pencekokan” nilai atau alasan lain, ternyata kita luput dalam memperhatikan kualitas “cekokan” tersebut. Ada nilai lain yang tanpa sengaja melekat dan berdampak amat buruk pada diri siswa. Nilai tersebut adalah plagiarisme dan orietasi pada angka nilai.
Sejak duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), siswa dilatih untuk “memindah” jawaban dari lembar materi ke lembar soal. Betapa banyak buku-buku latihan siswa yang didisain untuk melancarkan praktik plagiarisme tersebut. “Ayo anak-anak, kerjakan soal-soal itu dengan benar. Baca dulu materi di halaman sebelumnya. Baca dengan teliti, karena semua jawaban ada disitu.” Dengan tidak langsung, guru “memaksa” siswa untuk mengcopy jawaban untuk kemudian disalin kembali, sama persis dengan kalimat di halaman materi.
Terjadi pergeseran tujuan pembelajaran, yang awalnya pemberian pengetahuan dan ajang pelatihan kemandirian berpikir, menjadi pelatihan “peniruan”. Tampak jelas bahwa siswa dituntut untuk hanya aware pada angka nilai. Jalan pintas plagiarisme dihalalkan asal siswa dapat menyelesaikan soal, sama persis dengan materi.
Pelan namun pasti, terbentuk sikap mental yang berorientasi pada nilai, dengan mengesampingkan tujuan pendidikan pada khitahnya. Tak jarang siswa melakukan tindakan yang lebih “berani” demi mendapatkan nilai maksimal.
Sadar atau tidak, sekolah berkotribusi dalam membentuk lingkungan yang mendukung, yaitu adanya apresiasi untuk siswa-siswi yang berprestasi. Namun jangan salah, prestasi yang dimaksud adalah siswa yang mendapatkan nilai tertinggi. Bukan untuk siswa-siswi yang paling jujur dan bekerja keras dalan mngembangkan kemandirian berpikir. Belum selesai sampai disitu, sekolah juga memberikan peringatan sekaligus ancaman untuk siswa-siswi dengan nilai yang rendah, bukan mereka yang berbuat “curang” untuk mendapatkan nilai terbaik.
Ironisnya, nilai-isme ini berkembang pula di lingkungan lain, lingkungan keluarga. Orangtua meyakini bahwa putra-putrinya dikatakan cerdas saat mereka mendapatkan nilai yang tinggi. Pertanyaan yang terlontar dari orangtua lebih sering “Bagaimana nilai ujianmu, rangking berapa?” bukan “Tadi disekolah mendapat materi apa?, ujian dengan jujur kan?”
Tekanan demi tekanan itu semakin mengukuhkan watak siswa. Nilai, ya itulah tujuan belajar mereka saat ini. Hingga puncaknya, ketika seorang siswi SMK di Muaro Jambi nekat mengakhiri hidupnya hanya karena dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional (UN) tahun ini. Sebelum melakukan aksi bunuh diri, ia meninggalkan pesan agar temannya mengatakan pada orangtuanya bahwa ia tidak lulus UN, karena ia tidak berani mengatakan sendiri. Padahal tidak lebih dari satu bulan lagi, akan diadakan ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus atau belum mengikuti UN.
Fakta tersebut menyatakan, betapa penting nilai bagi siswa, betapa nilai menjadi prioritas utama pendidikan mereka, lebih dari tujuan murninya, media untuk mengembangkan kemandirian berpikir, dan berjiwa besar. Saking kuatnya nilai-isme mengakar,hingga kegagalannya harus ditebus dengan nyawa.
Berangkat dari fenomena tersebut, perlu adanya koreksi besar atas kualitas system pendidikan negeri ini, terlebih tenaga pengajar yang berinteraksi langsung dengan siswa. Harus ada perombakan orientasi pendidikan, sekaligus penghapusan watak plagiarisme, serta penanaman kesadaran akan manfaat pendidikan, bukan manfat nilai.
Merujuk pada penyataan di awal, “Menjadi cerdas itu mudah, tapi mencerdaskan orang lain itu bukan perkara sepele,” maka tenaga pengajar haruslah orang yang memiliki kecerdasan emosional dan intelektual yang seimbang. Kualitas tenaga pengajar berkaitan kuat terhadap kualitas siswa. Semoga pelajar Indonesia mampu memimpin dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar