Ya, itu
hanyalah potongan cerita dalam film yang mengusung fenomena diskrimanasi gender bertajuk 7 Hati, 7 Cinta, 7
Wanita, yang dirilis pada 2010. Barangkali agak berlebihan, tetapi rangkaian
cerita yang diangkat dalam film garapan Robby Ertanto tersebut menggambarkan
realita ekstrim ketimpangan gender
yang terjadi di negara yang mengaku demokratis dan menjunjung emansipasi wanita
ini. Tentang bagaimana perempuan menjadi komoditas ekonomis pria, bagaimana
perempuan begitu lemah atasnama kesetiaan dan kesalihan serta bagaimana
perempuan harus bertanggungjawab atas kehendak pria. Kalaupun tak sedramatis
itu, nyatanya perempuan indonesia dihadapkan pada ancaman kekerasan atas fisik
dan mental mereka.
Berdasar data World Health Organization (WHO)
Gender
Development Index Indonesia pada 2006 berada pada angka 0.704,menduduki
rangking 81 dari 177 negara di dunia. Sementara komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan mencatat pada 2006 sebanyak 22.512 kasus kekerasan terhadap
perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia, 74%
diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa
tengah (4.878 kasus).
Catatan merah keadilan gender Indonesia juga diwarnai dengan penganiayaan dan pemerasan
terhadap pahlawan devisa, dan ironisnya praktik ini justru dilakukan oknum
bangsa sendiri.
Masih lekat di telinga kita bagaimana seorang
perempuan menjadi korban kekerasan seksual di angkutan umum dan sayangnya kasus
tersebut bukan yang pertama. Sebelumnya kasus serupa terjadi, justru pada moda
transportasi alternatif yang diklaim aman dan nyaman, Transjakarta. Fasilitas
umum, khususnya transportasi yang seharusnya dapat mengakomodasi kebutuhan
seluruh masyarakat tanpa membedakan gender
justru mejadi semacam alat yang dimanfaatkan oknum laki-laki untuk menunjukan
superioritas atau bisa disebut penindasan.
Menengok kebelakang, sejarah berdirinya negeri ini
pun tak jauh dari diskriminasi gender
yang menjadikan perempuan sebagai objek penindasan. Sejak jaman kolonial
Belanda kemudian lebih parah lagi pada masa penjajahan Jepang, perempuan pribumi
hanya menjadi objek kepuasan seks kemudian harus menyandang status jugun ianfu.
Pentingnya
Pendidikan Gender
Setelah 66 tahun merdeka dan 13 tahun
mengumandangkan semangat reformasi ternyata perempuan Indonesia masih belum ”merdeka”. Berbagai
upaya pemerintah untuk meniadakan ketimpangan gender seperti pengesahan Undang-Undang No 23 tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT nyatanya belum terlaksana secara maksimal. Hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia
minim mendapatkan edukasi mengenai kesetaraan gender.
Pendidikan gender
sebagaimana pengetahuan tentang seks masih menjadi hal yang tabu bagi
sebagian besar masyarakat. Hal ini amat menghambat upaya pendidikan keadilan gender sejak dini, mengingat begitu
pentingnya pemahaman kesetaraan gender.
Kesadaran akan keadilan gender akan
menjadi semacam kontrol sosial yang sangat efektif. Kontrol ini tertananam pada
diri, bukan sekadar mekanisme punishment
institusional.
Perlu pemahaman
bahwa keanggunan dan kelembutan perempuan bukanlah sekadar objek dan kekerasan terhadapnya
dapat menimbulkan luka fisik dan trauma psikologis. Women’s Crisis Centre (WCC)
mencatat pada 2007 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang diampingi WCC
mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri dan
13,12% menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Fakta-fakta ini yang harus
dimengerti oleh setiap orang, terutama laki-laki.
Upaya ini telah dilakukan oleh beberapa LSM dan
pemerhati perempuan, tetapi nampaknya belum mendapat perhatian besar dari pemerintah.
Melihat pentingnya pendidikan gender,
rasanya tak berlebihan jika disisipkan dalam kurikulum pendidikan menengah dan
tinggi mengingat kasus kekerasan pada perempuan rawan terjadi pada usia
tersebut. Pendidikan gender tidak
harus berupa materi kelas, pemutaran film, diskusi interaktif serta kuis dapat
menjadi alternatif metoda pendidikan gender.
Salam keadilan gender.