Senin, 16 Januari 2012

Menakar kesetaran gender di alam demokrasi

Kenapa kaumku yang selalu menjadi korban, apakah ini yang namanya emansipasi wanita, atau malah emansipasi pria? gumam sang dokter spesialis kandungan, Kartini yang trenyuh mendapati beberapa orang pasiennya menjadi korban ketidakberdayaan perempuan atas laki-laki. Mereka adalah Rara pelajar kelas dua SMP yang hamil, Yanti pekerja seks komersial pengidap kanker rahim, Ratna perempuan yang tengah hamil sementara sang suami telah menikah lagi dan Lili korban kekerasan dalam rumah tangga yang akhirnya meninggal di tangan suaminya.
 Ya, itu hanyalah potongan cerita dalam film yang mengusung fenomena diskrimanasi gender bertajuk 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita, yang dirilis pada 2010. Barangkali agak berlebihan, tetapi rangkaian cerita yang diangkat dalam film garapan Robby Ertanto tersebut menggambarkan realita ekstrim ketimpangan gender yang terjadi di negara yang mengaku demokratis dan menjunjung emansipasi wanita ini. Tentang bagaimana perempuan menjadi komoditas ekonomis pria, bagaimana perempuan begitu lemah atasnama kesetiaan dan kesalihan serta bagaimana perempuan harus bertanggungjawab atas kehendak pria. Kalaupun tak sedramatis itu, nyatanya perempuan indonesia dihadapkan pada ancaman kekerasan atas fisik dan mental mereka.
Berdasar data World Health Organization (WHO) Gender Development Index Indonesia pada 2006 berada pada angka 0.704,menduduki rangking 81 dari 177 negara di dunia. Sementara komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat pada 2006 sebanyak 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia, 74% diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus).
Catatan merah keadilan gender Indonesia juga diwarnai dengan penganiayaan dan pemerasan terhadap pahlawan devisa, dan ironisnya praktik ini justru dilakukan oknum bangsa sendiri.
Masih lekat di telinga kita bagaimana seorang perempuan menjadi korban kekerasan seksual di angkutan umum dan sayangnya kasus tersebut bukan yang pertama. Sebelumnya kasus serupa terjadi, justru pada moda transportasi alternatif yang diklaim aman dan nyaman, Transjakarta. Fasilitas umum, khususnya transportasi yang seharusnya dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh masyarakat tanpa membedakan gender justru mejadi semacam alat yang dimanfaatkan oknum laki-laki untuk menunjukan superioritas atau bisa disebut penindasan.
Menengok kebelakang, sejarah berdirinya negeri ini pun tak jauh dari diskriminasi gender yang menjadikan perempuan sebagai objek penindasan. Sejak jaman kolonial Belanda kemudian lebih parah lagi pada masa penjajahan Jepang, perempuan pribumi hanya menjadi objek kepuasan seks kemudian harus menyandang status jugun ianfu.
Pentingnya Pendidikan Gender
Setelah 66 tahun merdeka dan 13 tahun mengumandangkan semangat reformasi ternyata  perempuan Indonesia masih belum ”merdeka”. Berbagai upaya pemerintah untuk meniadakan ketimpangan gender  seperti  pengesahan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT nyatanya belum terlaksana secara maksimal.  Hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia minim mendapatkan edukasi mengenai kesetaraan gender.
Pendidikan gender sebagaimana pengetahuan tentang seks masih menjadi hal yang tabu bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini amat menghambat upaya pendidikan keadilan gender sejak dini, mengingat begitu pentingnya pemahaman kesetaraan gender. Kesadaran akan keadilan gender akan menjadi semacam kontrol sosial yang sangat efektif. Kontrol ini tertananam pada diri, bukan sekadar mekanisme punishment institusional.
Perlu pemahaman bahwa keanggunan dan kelembutan perempuan bukanlah sekadar objek dan kekerasan terhadapnya dapat menimbulkan luka fisik dan trauma psikologis. Women’s Crisis Centre (WCC) mencatat pada 2007 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang diampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri dan 13,12% menderita gangguan kesehatan reproduksinya. Fakta-fakta ini yang harus dimengerti oleh setiap orang, terutama laki-laki.
Upaya ini telah dilakukan oleh beberapa LSM dan pemerhati perempuan, tetapi nampaknya belum mendapat perhatian besar dari pemerintah. Melihat pentingnya pendidikan gender, rasanya tak berlebihan jika disisipkan dalam kurikulum pendidikan menengah dan tinggi mengingat kasus kekerasan pada perempuan rawan terjadi pada usia tersebut. Pendidikan gender tidak harus berupa materi kelas, pemutaran film, diskusi interaktif serta kuis dapat menjadi alternatif metoda pendidikan gender. Salam keadilan gender.