Kamis, 28 Oktober 2010

Hukum Progresif Pendidikan

Hukum progresif yang diperkenalkan (Alm.) Prof Satjipto Rahardjo, guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ternyata memiliki kajian yang amat luas. Lalu bagaimana bila hukum progresif diterapkan pada dunia pendidikan? Sejauh mana manfaatnya?
hukum progresif mengkaji kesalahan bukan hanya dari “apa” kesalahan itu, tapi lebih pada “mengapa” kesalahan itu dilakukan. Dalam hal ini, asas praduga tak bersalah memiliki peranan penting. Tersangka melakukan pledoi yang mungkin dapat meringankan hukuman atau bahkan membebaskannya dari jerat hukum.Pola semacam ini dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan.
Selama ini kelulusan siswa terutama SMA-sederajat dan SMP-sederajat menitikberatkan parameter kelulusan berdasarkan hasil nilai Ujian Nasional (UN). Parameter lain adalah nilai sikap siswa selama disekolah. Sekolah dapat menidakluluskan siswa apabila nilai sikapnya dibawah rata-rata, atau dengan kata lain siswa berperilaku buruk. Sekalipun sang siswa mendapat hasil UN yang memuaskan.
Aturan ini pada dasarnya baik, karena siswa tidak hanya dituntut cerdas secara akademis, namun juga harus cerdas secara emosional. Tujuan pendidikan adalah melatih kemandirian berpikir dan positive thinking. Tanpa emotional control, nasib bangsa ini kedepan tak akan jauh berbeda dengan kondisi saat ini, sarang koruptor. Korupsi menjadi musuh utama Indonesia saat ini, dari sinilah kita harus mulai mencegahnya.
Namun tak cukup sampai disitu, kebijakan nilai sikap sebagai pertimbangan kelulusan harus dilengkapi dengan penerapan hokum progresif. Sekolah harus mengkaji lebih dari sekadar “apa” kesalahan yang dilakukan, tapi harus sampai “mengapa” kesalahan itu dilakukan. Sangat mungkin siswa melakukan kesalahan (prbuatan buruk) bukan atas kemauannya. Dengan demikian setiap siswa mendapatkan haknya untuk lulus, sekalipun melakukan kesalahan.
Taruhlah misalnya kasus yang terjadi di Jogjakarta, ketika siswa tidak diluluskan karena nilai sikapnya buruk. Sekolah tidak dapat serta merta tidak meluluskan siswa yang bersangkutan. Siswa berhak untuk menjawab dan melakukan pledoi atas kesalahannya. Setelah adanya proses pemahaman, barulah sekolahdiperbolehkan menetapkan sikap. Tidak menutup kemungkinan siswa dikeluarkan jika pledoinya ditolak karena alasan yang tidak rasional. Dengan demikian, hukuman siswa dapat sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan, sekaligus menjaga hak-haknya.
Perlu diketahui siswa usia SMA/SMP-sederajat secara psikologis tengah berada pada fase “gejolak”. Belum memiliki kematangan emosional, sehingga tidak dapat disamaratakan dengan hokum pidana.bagaimanapun, siswa berada rel pencarian jatidiri, sehingga kesalahan sangat mungkin terjadi.
Hukum progresif mengajarkan untuk memberikan hukuman yang mendidik, dengan mempertimbangkan berbagai aspek (manfaat dan kerugian). Pun dalam kajian pendidikan, sekolah perlu mempertimbangkan beberapa aspek, seperti kondisi orangtua siswa (ekonomi), dan kondisi psikologis siswa. Masih hangat ditelinga kita seorang siswi di Jambi nekat bunuh diri karena tidak lulus UN. Sungguh tidak layak ketika angka nilai UN harus dipertukarkan dengan nyawa.
Akhirnya, kebijaksanaan menjadi senjata kunci dalam proses pendidikan. Hukuman layak untuk sebuah kesalahan, asal tidak menyandera hak siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar